Blinking Cute Box Cat





pemula-AwaliHarimu

Sabtu, 02 November 2013

_ MAKALAH IPI _



BAB l
PENDAHULUAN
A.Latar belakang
   Pendidikan Islam adalah sebagai suatu disiplin ilmu yang diakui telah menjadi salah satu bidang studi dan telah menarik minat kalangan  pembelajar untuk mengkajinya lebih serius, tetapi sebagai suatu bidang studi yang masih baru tampaknya disiplin ilmu ini belumlah pesat perkembangannya dibandingkan dengan sejumlah bidang studi islam lainnya.
Luasnya bidang kajian yang dicakup oleh pendidikan Islam yang membahas isu-isu pendidikan Islam yang terjadi di era reformasi maupun sebelum era reformasi.Maka realitasnya dapat digambarkan secara singkat mulai dari era prakemerdekaan sampai era reformasi sekarang ini.Dari perspektif pembaruan pemikiran dan gerakan Islam Indonesia, Kami akan mengemukakan pendidik dalam perspektif Pendidikan Islam, dan bagaimana transformasi pendidikan Islam itu akan difokuskan pada beberapa hal sebagai berikut:
1)    Pembaruan pemikiran epistemologi keilmuan
2)    Pembaruan kelembagaan pendidikan Islam
3)    Isu-isu kontemporer pendidikan
  












BAB II
PEMBAHASAN
POTRET PENDIDIKAN ISLAM: Perspektif Pembaruan Pemikiran dan Gerakan Islam Indonesia Kontemporer
              Dalam pendidikan Islam, pendidik memiliki arti dan peranan yang sangat penting, hal ini disebabkan ia memiliki tanggung jawab dan menentukan arah pendidikan. Itulah sebabnya Islam sangat menghargai dan menghormati orang-orang yang berilmu pengetahuan dan bertugas sebagai pendidik.Islam mengangkat derajat mereka dan memuliakan mereka melebihi dari pada orang Islam lainnya yang tidak berilmu pengetahuan dan bukan pendidik.
Allah berfirman:
Artinya:
  “niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman diantara kamu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat.(QS. Al-Mujadalah:11)
              Bahkan orang-orang yang berilmu pengetahuan dan mau mengajarkan ilmunya kepada mereka yang membutuhkan akan disukai oleh Allah dan didoakan oleh penghuni langit, penghuni bumi seperti semut dan ikan didalam laut agar ia mendapatkan keselamatan dan kebahagian.
  Rasulullah SAW bersabda:
Artinya:
Sesungguhnya allah yang maha suci, malaikat-Nya dan penghuni-penghuni langit_Nya serta bumi-Nya termasuk semut dalam lubangnya dan termasuk ikan dalam laut akan mendoakan keselamatan bagi orang-orang yang mengajar manusia sebagai kebaikan.(HR. Tirmizi)
Demikianlah keberuntungan yang dimiliki oleh orang berilmu pengetahuan dan mau mengajarkan ilmunya kepada orang lain. Sehubungan dengan itu maka Islam mengimbau kepada orang berilmu untuk suka mengajarkan ilmunya kepada orang lain. Bagi mereka yang tidak mau menanggapi himbauan tersebut bahkan menyembunyikan ilmu pengetahuan yang dimilikinya maka ia diancam dengan siksa api neraka.
Rasulullah SAW bersabda:
Artinya: Barang siapa yang diajari sesuatu ilmu dan dia menyembunyikannya, maka allah akan mengekangnnya dengan siksa api neraka.(HR. abu Dawud, Tirmidzi dan Ibnu Hibban)
              Agar pendidik berhasil melaksanakan tugasnya, Al-Ghazali menyarankan pendidik memiliki adab yang baik. Hal ini disebabkan anak didik itu akan selalu melihat kepadanya sebagai contoh yang harus selalu diikutinya, Al-Ghazali berkata:
“mata anak didik selalu tertuju kepadanya, telinganya selalu menganggap baik berate baik pula disisi mereka dan apabila ia menganggap jelek berarti jelek pula disisi mereka.” (Team penyusun, Filsafat Pendidikan Islam Departemen Agama RI tahun 1984, hal. 168).
Transformasi Pendidikan Islam yaitu sebagai berikut:
1)    Pembaruan Epistemologi keilmuan Pendidikan Islam
            Di masa lalu anggapan bahwa ilmu agama dan ilmu umum merupakan dua ilmu yang dikotomis.Oleh karena itu, keduanya sulit untuk disatukan. Dengan begitu, sebagai implikasinya, lembaga pendidikan umum berdiri di mana-mana dengan gagahnya di negeri ini, sedangkan lembaga pendidikan islam harus berjuang sedemikian rupa agar bisa eksis secara kualitatif. Sebab lembaga pendidikan islam belumlah dianggap sejajar dengan lembaga pendidikan umum.
            Kami tidak setuju dengan hal ini, ilmu agama dan ilmu umum tidak dikotomikan, sebagaimana penjelasan dari bapak bahwa dimasa lalu ilmu agama dan ilmu umum merupakan dua ilmu yang dikotomis. Namun, kami dapat mengaitkannya dalam sunah Nabi saw, dimana kita tidak hanya disuguhkan ilmu syari’at agama, tetapi juga informasi yang berkaitan dengan sains seperti fisika, matematika, seni, embriologi dan astronomi. Tahapan-tahapan dan masa pertumbuhan embrio janin dalam kandungan mulai pertemuan sperma menjadi alaqah(gumpalan darah) kemudian nutfah (daging) dan peniupan ruh serta penulisan takdir kehidupan (HR Bukhari dan Muslim). Pemahaman seperti itulah yang dimiliki oleh para ulama terdahulu dimasa kejayaanislam dan mereka tidak mengenal istilah dikotomis sehingga mereka banyak menguasai ilmu selain ilmu agama, karena bagi mereka semua jenis ilmu berada dalam satu bangunan pemikiran yang bersumber daari Allah swt. semuanya mengarah pada tujuan yaitu mengenai dan menyembah Allah swt. sesuai dengan kodrat diciptakannya manusia.
            Pembidangan keilmuan yang sudah baku-ilmu alam, ilmu sosial, dan humaniora –dipandang perlu menempatkan etika islam yang bersumber pada nilai-nilai universal Alquran dan hadis Nabi untuk menjiwai seluruh bidang keilmuan tersebut.[1]pandangan semacam ini menjadi sangat mungkin dilihat bila dilihat dari sisi teori perubahan sosial yang lebih dikenal dengan shifting paradigm yaitu suatu teori yang menjelaskan bahwa hampir semua jenis kegiatan ilmu pengetahuan, baik natural sciences maupun social sciences, bahkan religious sciences, selalu mengalami apa yang disebut dengan shifting paradigm.shifting paradigm adalah adanya pergeseran gugusan pemikiran keilmuan yang memungkinkan terjadinya perubahan. Pergeseran, perbaikan, perumusan kembali, nasikh- mansukh, serta penyempurnaan rangsang bangun epistemology keilmuan.[2]Dengan begitu, maka usaha untuk melakukan integrasi ilmu agama dan ilmu umum dalam sebuah lembaga pendidikan secara utuh bukanlah sesuatu yang tabu.
            Memadukan ilmu agama dan ilmu umum dalam dinamika pendidikan islam dimaknai Azhumardi Azra sebagai upaya memberikan pemahaman bahwa pada dasarnya seluruh ilmu itu berasal dari yang Maha Esa, sedangkan usaha pendalaman dan pengembangan terhadap keduanya merupakan manifestasi ibadah.[3]          
            Boleh  jadi kemunduran pendidikan Islam lebih disebabkan oleh adanya pandangan dikotomis tentang ilmu-ilmu umum agama. Padahal jika ditelusuri secara mendalam, Islam sebenarnya tidak mengenal adanya dikotomi tersebut.Pandangan ini sejalan dengan firman Allah dalam QS. Al-‘alaq (96):1-5, sebagai berikut:
            ÙˆَرَبُّÙƒَ اقْرَØ£ْ -Ù¢- عَÙ„َÙ‚ٍ Ù…ِÙ†ْ الْØ¥ِنسَانَ Ø®َÙ„َÙ‚َ -Ù¡- Ø®َÙ„َÙ‚َ الَّØ°ِÙŠ رَبِّÙƒَ بِاسْÙ…ِ اقْرَØ£ْ
        (Ù¥) ÙŠَعْÙ„َÙ…ْ Ù„َÙ…ْ Ù…َا الْØ¥ِنسَانَ عَÙ„َّÙ…َ -Ù¤- بِالْÙ‚َÙ„َÙ…ِ عَÙ„َّÙ…َ الَّØ°ِÙŠ -Ù£- الْØ£َÙƒْرَÙ…ُ
(1) Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang menciptakan, (2) Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. (3) Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah, (4) Yang mengajar (manusia) dengan perantaraan kalam. (5) Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.[4]
Dari ayat di atas dipahami bahwa segala sesuatu yang dikerjakan hendaklah dimulai dengan menyebut nama Allah, sebab inilah yang menjadi kunci, apakah suatu pekerjaan memiliki ruh keislaman atau tidak, selanjutnya dengan tegas Allah mengatakan bahwa Dia telah mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya. Di sini allah tidak membedakan bahwa yang diajarkan-Nya itu adalah ilmu agama atau ilmu umum. Dengan begitu, maka dipahami bahwa asal ilmu, baik ilmu agama maupun ilmu umum, pastilah berasal dari sumber yang satu yaitu Allah.Artinya, kalau umat Islam mau memajukan pendidikan Islam, maka perilaku mendikotomikan ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu umum haruslah ditinggalkan. Karena akan membawa kemunduran bagi umat islam.
Kami sangat setuju dengan pernyataan ini, karena dalam ilmu agama idak lagi mendikotomkan ilmu,sesuai dengan permintaan perubahan dan kajian yang semakin mendalam.
2)    Pembaruan Kelembagaan Pendidikan Islam
              Jika dicermati inti gagasan soal ujian komprehensif program doktor UIN Jakarta seperti dikutip pada awal tulisan ini, maka setidaknya ada empat hal yang dapat ditarik di dalamnya yaitu:
a.    Kuliah di perguruan tinggi luar negeri lebih mudah ;
b.     Lulusan di perguruan tinggi luar negeri lebih marketable dalam mendapatkan lapangan pekerjaan;
c.    Kuliah di perguruan tinggi dalam negeri lebih “sulit” karena banyaknya mata kuliah yang tidak relevan; dan
d.    Lulusan perguruan tinggi dalam negeri sulit mendapatkan lapangan pekerjaan.
        Kami setuju dalam hal ini, kuliah diluar negeri memang sangat memudahkan kita.Karena mata kuliah yang ada sangat relevan dengan prodi yang kita minati.Berbeda halnya dalam negeri banyak sekali mata kuliah yang tidak relevan dengan prodi yang kita minati.Sehingga memberatkan kita dalam memahami dengan alasan banyaknya tugas dan ilmu yang tidak mengarah terhadap prodi yang kita geluti.
        Dengan begitu, disadari bahwa lembaga pendidikan tinggi Islam harus berbena diri dan melakukan transformasi untuk menjawab tantangan zaman yang semakin kompetitif dan kompleks.Perguruan tinggi Islam dianggap tidak marketable lagi dalam menghadapi persaingan global.Boleh jadi, hal ini disebabkan oleh adanya ekspansi pendidikantinggiumum yang dari dulu lebih mendapat perhatian dari pemerintah dibandingkan pendidikan tinggi agama.[5] Asumsi ini dapat dikritisi dengan memakai teori Azra tentang pesantren yang mensinyalir bahwa:
Tidak banyak lembaga-lembaga pendidikan tradisional Islam seperti pesantren yang mampu bertahan menghadapi ekspansi sistem pendidikan umum untuk tidak menyebut sistem pendidikan sekuler. Dengan begitu, sebagai konsekuensinya, Pertama pesantren lenyap setelah tergusur oleh system pendidikan umum; ,Kedua, pesantren mengalami transformasi menjadi lembaga pendidikan umum; dan ketiga, pesantren setidak-tidaknya menyesuaikan diri dan mengadopsi sedikit banyak isi dan metodologi pendidikan umum.[6]
Apa yang terjadi pada pesantren tradisional seperti sinyalemen Azra di atas tampaknya terjadi pula pada perguruan tinggi Islam. Lahirnya UIN adalah jawaban atas fenomena tersebut, walaupun tidak sedikit umat Islam yang menentangnya karena dianggap akan melemahkan pendidikan Islam itu sendiri. Akan tetapi, pandangan yang terakhir ini dikritisi pula oleh A. Malik Fadjar, bahwa pada tataran normatife-filosofis, pendidikan Islam seringkali hanya terjebak pada perdebatan semantik, apakah menggunakan tarbiyah, ta’dib atau ta’lim. Bahkan lebih dari itu, pendidikan Islam pun sesungguhnya masih terjebak pada dikotomi dualisme ilmu-ilmu umum dan ilmu-ilmu agama.[7] Ini artinya pendidikan Islam akan sulit mencapai kejayaannya kalau mental para pengolanya (umat Islam) masih berkutat pada hal-hal yang mestinya sudah selesai.
Kami dalam hal ini tidak setuju.Dikarenakan ilmu agama tidak lagi mendikotomikan ilmu umum dengan ilmu agama.Dan juga semakin memperdalam ilmu dalam kajian dan aplikasinya.Ini dapat kita lihat dalam kajian ilmu agama yang mngehubungkannya kedalam ilmu kajian lainnya.An juga mengait eratkan dengan era modern yang semakin menunjukkan kemahirannya dalam ilmu umum. Tidak hanya sampai disitu, dalam ilmu agama juga semakinmemperat kajiannya baik itu imu umum maupun filsafat yang dimana sudah menjadi kajian dalam ilmu agama yang mulai disadari akan hubungannya. 
Adanya landasan naqli yang menegaskan bahwa baik ilmu umum maupun ilmu agama berasal dari Tuhan Yang Satu, maka sudah waktunya lembaga pendidikan Islam mandapatkan perhatian yang serius, bukan saja dari pemerintah, tetapi juga dari umat Islam itu sendiri. Kualitas pendidikan Indonesia termasuk di dalamnya pendidikan Islam sebagaimana dikutip Suwito dari laporan A. Malik Fadjar, Mendiknas ketika itu, pada rapat Koordinasi Kesejahteraan Rakyat, tanggal  12 september 2001, pada intinya sepakat dengan laporan The Jakarta Post edisi 3 september 2001. Laporan tersebut menyebutkan hasil penelitian yang dilakukan oleh The Political and Economy RiskConsultancy (PERC) yang berbasis di Hongkong bahwa pendidikan Indonesia berada di urutan ke-12 setelah Vietnam.[8]Suwito mengemukakan tentang potret perjalanan lembaga pendidikan Islam dalam upaya berbenah diri.
Upaya mengkritisi pesantren tradisional melahirkan pesantren modern.Upaya mengkritisi kedua model pesantren tersebut melahirkan pesantren kilat.Upaya mengkritisi terhadap madrasah tradisional yang hanya mempelajari ilmu-ilmu agama melahirkan madrasah modern yang mempelajari juga ilmu-ilmu umum. Upaya mengkritisi Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri (PTAIN) di Yogyakarta dan Akademi Dinas Ilmu Agama (ADIA) dijakarta, melahirkan Institut Agama Islam Negeri (IAIN) melalui peraturan Presiden No.11 Tahun 1960. Kritik dan atau ketidakpuasan terhadap IAIN yang menyediakan program studi keagamaan semata, melahirkan IAIN with wider mandate (dengan mandate yang diperluas).Upaya mengkritisi berbagai IAIN cabang melahirkan STAIN. BIsa jadi upaya mengkritisi IAIN with wider mandate akan melahirkan Universitas Islam Negeri (UIN).0[9]
        Realitas yang disampaikan oleh Suwito di atas mengandung pengertian bahwa sepanjang menyangkut persoalan pendidikan, maka yang terjadi adalah perubahan atau penyempurnaan secara terus menerus.Tidak boleh ada keputusan final yang menyebabkan dunia pendidikan menjadi stagnan apalagi jumud.Inilah mungkin yang disebut oleh A. Malik Fadjar sebagai “mimpi-mimpi besar” yang sebaiknya menjadi obsesi semua akademisi. Ketika pidato pengukuhan guru besar tersebut disampaikan oleh Prof. Dr. Suwito, M.A. pada tanggal 3 januari 2002, keinginan untuk menjadi UIN Jakarta barangkali masih menjadi mimpi besar, tetapi hari ini, mimpi besar tersebut telah menjadi kenyataan. Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta telah menjadi perguruan tinggi Islam bergengsi (the most competitiveuniversity) yang sangat layak disejajarkan dengan perguruan tinggi umun yang lebih dahulu ada.
        Hal di atas diakui oleh Nata bahwa di bawah kepemimpinan Azyumardi Azra sebagai rektor, citra Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif HIdayatullah Jakarta sebagai representasi perguruan tinggi Islam telah berhasil disejajarkan dengan perguruan tinggi umum yang berada di bawah naungan Departemen Pendidikan Nasional. Bahkan kini, UIN yang dipimpin Azra ini diakui sebagai Universitas Islam terbaik di Asia Tenggara. Berbagai komponen pendidikan, mulai dari visi, misi, tujuan, kurikulum, kompetensi dosen, proses belajar mengajar, sarana prasarana, dan sebagainya sudah ditingkatkan menjadi bertarap nasional, bahkan internasional. UIN Syarif Hidayatullah Jakarta telah menjadi kebanggaan umat dan bangsa Indonesia.[10]Walaupun begitu, kemajuan yang dicapai oleh UIN Jakarta bukanlah sesuatu yang terjadi secara serta merta, tetapi telah melalui tahapan-tahapan yang penuh dengan perjuangan. Gagasan untuk mengkonversi IAIN menjadi UIN sebenarnya telah lama menjadi wacana, tetapi barulah terlaksana ketika perguruan tinggi Islam ini di bawah kepemimpinan  Azyumardi Azra sebagai rektor.
        Konversi IAIN/STAIN menjadi UIN dilakukan sebagai respons atas kenyataan bahwa Madrasah Aliyah yang menjadi basis utama pemasok calon  mahasiswa ke IAIN /STAIN ternyata bukan lagi Madrasah Aliyah yang kental dengan jurusan agama, melainkan telah menjadi sekolah umum. Jurusan agama masih tetap ada di Madrasah Aliyah, tetapi jumlahnya sudah sangat sedikit.Dengan begitu, bila ada lulusan program studi agama dari IAIN/STAIN boleh jadi tidak dapat ditampung di Madrasah Aliyah karena jurusan agama di lembaga pendidikan tersebut sudah sangat sedikit.Artinya, kompetisi lulusan IAIN/STAIN tidak diperlukan lagi secara pasif di Madrasah aliyah.
        Sebuah penelitian yang baru-baru ini dilakukan oleh penulis menemukan bahwa pesantren sebagai lembaga pendidikan Islamyang selama ini paling kental mengakomodasi materi pendidikan agama ternyata tidak lagi berbasis MTs dan MA, tetapi sudah berbasis SMP dan SMU.[11] Ini artinya, para alumni dari lembaga pendidikan islam ini, secara vertikal, tentu membutuhkan lembaga pendidikan tinggi Islam yang tidak hanya berbasis jurusan agama semata, tetapi juga berbasis jurusan ilmu umum.
       Kami setuju dalam hal ini karena pesantren kini mulai berbasis dengan SMP dan SMU, ini terbukti dengan penambahan jadwal pelajaran MIPA dan mulai mengurangi jadwal pelajaran agama yang menjadi kajian utamanya, akan tetapi dalam hal ini tidak dihilangkan dan tetap menjadi penilaian yang utama bagi siswa - siswi yang berbakat dan lebih mahir dalam pelajaran agama tersebut. Dalam hal ini bukan pelajaran ilmu umum tidak diperhatikan akan tetapi hanya tidak mau menghilangkan jejak dan pandangan masyarakat bahwa pondok pesantren tidak lagi mengkaji ilmu agama. Dalam hal Ini ilmu umum hanya akan disenangi dan diperhatikan hanya dalam ruang lingkup yayasan itu sendiri, dan tidak diikutsertakan dalam hal kepopuleran pesantren dan kemahiran siswa - siswi dalam hal ilmu umum. Pihak yayasan hanya  mencoba menjaga pemahaman masyarakat terhadap pesantren itu saja.
3)    Isu-isu kontemporer Pendidikan
        Berbagai isu-isu pendidikan, termasuk di dalamnya pendidikan Islam, dapat dipaparkan sebagai berikut:
a.    Undang-undang Guru dan Dosen
Pengesahan RUU Guru dan Dosen yang dilakukan dalam sidang paripurnaDPR RI tanggal 6 desember 2005 dimaksudkan untuk memperbaiki wajah pendidikan di Indonesia melalui perbaikan nasib guru dosen. Undang-undang ini diperlukan untuk mendorong peningkatan kualitas guru dan dosen, termasuk perlindungan profesi dan kesejahteraannya.[12]Akan tetapi, setelah disahkan menjadi undang-undang ternyata produk legislasi DPR tersebut tidak serta-merta menjadikan nasib guru dan dosen terangkat ekonominya. Sebab, tunjangan model baru dari guru dan dosen itu akan efektif paling cepat tahun 2007. Hal ini terjadi karena APBN tahun 2006 sudah lebih dahulu disahkan oleh DPR dan di dalamnya belum tercantum tunjangan tersebut. Dalam kaitan ini, berbagai media menyebutkan bahwa tunjangan profesi guru yang sudah tersertifikasi baru akan dibayarkan pada bulan oktober 2007. Boleh jadi informasi ini ada benarnya, sebab sejumlah aktivitas terkait sertifikasi guru dan dosen ini sudah mulai dilakukan, misalnya: aktivitas pemetaan guru dan dosen untuk menentukan siapa yang lebih dahulu disertifikasi; penyiapan rancangan  peraturan pemerintah; dan penyiapan rancangan keputusan menteri yang akan dijadikan sebagai landasan hukum bagi implementasi Undang-undang Guru dan Dosen tersebut.
              Ketika Undang-undang Guru dan Dosen tersebut lahir, komunitas guru dan dosen berharap banyak kepada pemerintah untuk segera membuat Peraturan Pemerintah yang mengatur perihal akredisasi, sertifikasi, kualifikasi, tunjangan dan lain-lain, sehingga undang-undang ini menjadi efektif dan bermanfaat bagi guru dan dosen serta memberi implikasi positif bagi dunia pendidikan secara keseluruhan.
              Walaupun Undang-undang Guru dan Dosen  telah lahir, tetapi masyarakat pendidikan, terutama guru dan dosen yang menjadi fokus undang-undang ini, ternyata justru diperhadapkan kepada persoalan baru yang menjadi kewajiban mereka. Menurut Mendiknas, Bambang Sudibyo, pemerintah memberikan waktu sepuluh tahun mulai 2007 bagi para guru untuk memenuhi persyaratan sertifikasi profesi pendidikan dengan memiliki gelar sarjana serta lulus uji sertifikasi.[13] Itulah sebabnya, kelahiran Undang-undang Guru dan Dosen yang sudah memasuki tahun kedua itu, hingga saat ini belum juga memberi kesejahteraan kepada guru dan dosen secara nyata.
              Jumlah guru di Indonesia yang telah diangkat, baik itu sebagai PNS maupun guru swasta tetap, mencapai 2,7 juta orang. Dari jumlah tersebut baru 570.000 guru yang memiliki ijazah sarjana.Mereka itu pada umumnya guru-guru yang baru diangkat. Ini artinya, kurang lebih 2,2 juta guru harus disekolahkan kembali.Hal tersebut bukanlah pekerjaan yang mudah, terutama bagi guru-guru yang tidak tergolong muda lagi dan tinggal di daerah terpencil yang jauh dari pusat pendidikan.Jika selama sepuluh tahun masih ada guru yang tidak memenuhi persyaratan tersebut, maka guru yang bersangkutan harus berhenti mengajar.Alih-alih berharap untuk mendapatkan gaji yang berlipat, nasib guru malah masih harus diperjuangkan oleh diri mereka sendiri, antara kewajiban beban mengajar dan kewajiban meng-upgrade diri mereka untuk mendapatkan sertifikasi.
              Saya setuju dengan pernyataan bapak, UUD guru dan dosen memang sangat menguntungkan baginya, namun sangat menyusahkan bagi guru yang berada pada desa terpencil dan juga ketika sedang melaksanakan sertifikasi pastinya proses belajar mengajar akan sangat terganggu, otomatis akan libur sekolah atau adanya jadwal yang tidak terpenuhi. Dilihat juga dari ketetapan yang memberikan jangka waktu hanya sepuluh tahun dan itu menjadi kewajiban tersendiri bagi guru dan dosen meskipun memberikan kesejahteraan yang akan terwujud sesudahnya.dan dengan hal ini maka akan menjadi beban bagi guru dan dosen ehingga tak lagi memikirkan tujuan utamanya untuk mencerdaskan umat, tapi lebih mengarahkan pikirannya untuk mendapatkan gelar sarjana dan sertifikasi yang menggoyahkan tujuannya. Karena dalam pikirannya setidaknya dapat mempertahankan kedudukannya sebagai pengajar juga mendapatkan imbalan yang lebih.
              Tunjangan sebesar satu kali gaji pokok, baru akan didapat seorang guru setelah kewajiban kualifikasi dan sertifikasinya terpenuhi. Padahal gaji guru dan dosen yang selama ini berlaku masih tergolong sangat kecil.Sebagai perbandingan, seorang guru di Jepang yang baru diangkat digaji sebesar 200.000 yen atau setara dengan 17 juta rupiah. Bahkan, seorang pengangguran di Belanda diberi tunjangan sebesar 1.800 gulden atau setara dengan 9,1 juta rupiah.[14]Lalu bagaimana dengan sistem penggajian guru di Indonesia?Walaupun gaji guru saat ini dinaikkan 300 % masih jauh lebih kecil dibandingkan dengan tunjangan seorang pengangguran di Belanda.            
b.    Pesantren dan Terorisme
              Di masa lalu, ketika bangsa ini masih menghadapi penindasan kaum penjajah, pesantren telah memainkan peranan penting berupa menggerakkan, memimpin, dan melakukan perjuangan dalam rangka mengusir kaum penjajah. Seorang pakar sejarah dari Universitas Padjajaran, Muhammad Mansur Suryanegara, sebagaimana dikutip ahmad Tafsir, menyatakan bahwa sulit mencari gerakan melawan penjajah di Indonesia yang bukan digerakkan dan dipimpin oleh orang pesantren.[15]Oleh karena itu, dalam mengisi kemerdekaan ini, pemerintah seringkali menggunakan pesantren untuk melakukan sosialisasi berbagai programnya.Hal ini wajar, sebab pesantren secara riil memang memiliki pengaruh yang sangat kuat terhadap komunitasnya dan masyarakat sekitar. Apalagi institusi pesantren, sebagaimana disinyalir Azra, termasuk salah satu lembaga pendidikan berbasiskan masyarakat (Community-based education ) yang telah diselenggarakan oleh kaum muslimin Indonesia. Hal ini logis, karena pendirian lembaga-lembaga pendidikan itu berkaitan erat dengan motivasi keagamaan untuk menyediakan pendidikan Islam guna mendidik putra-puteri mereka.[16]
              Akan tetapi, kontras dengan kenyataan historis di atas, dunia pesantren saat ini sedang menghadapi stigma buruk pasca peristiwa September 11 attacks. Peristiwa serangan tersebut telah merubah wajah pesantren yang tadinya disanjung menjadi dicurigai karena disinyalir memilki kontribusi dalam melahirkan patriotisme teroris menyusul maraknya peledakan bom bunuh diri di Indonesia.
              Stigmatisasi dunia pesantren seperti itu telah memperburuk wajah pendidikan Islam. Pada Umumnya tokoh-tokoh pesantren, seperti ketua MPR, hidayat Nur Wahid, melakukan protes keras terhadap rencana pemerintah melalui institusi POLRI untuk mengambil sidik jari komunitas santri karena alasan keamanan[17] Hal ini telah melukai hati komunitas pesantren karena suatu dugaan buruk yang dialamatkan kepada mereka. Padahal dunia pesantren secara institusional menepis keras dugaan bahwa kurikulum yang diajarkan di pesantren mengandung ideologi terorisme. Kalaupun ada pelaku terorisme yang tertangkap dan mengaku memiliki latar belakang pesantren dapat dipastikan bahwa mereka itu telah terkontaminasi dengan lingkungan lain di luar pesantren, bukan karena didikan yang diperolehnya dipesantren.
              Kami tidak setuju dengan hal ini, pengambilan sidik jari hanya akan membuat jiwa santri semakin gelisah dan merasa tidak tenang dengan apa yang menjadi kesenangannya. Dalam hal ini, jiwa santriterasa terancam meskipun bukan mereka yang bertindak sebagai teroris. Sesuai dengan pernyataan seorang guru besar  yang menyatakan” tidak ada santri pencuri yang ada pencuri masuk santri”. Jadi disini kami dapat menyimpulkan bahwa anggapan yang pers lemparkan terhadap pondok pesantren itu terjadi kesalah pahaman, dimana ada pemicu tersendiri yang mengarahkan pemahaman masyarakat terhadap pondok pesantren itu sendiri.Lembaga pendidikan pesanren memiliki peran besar dalam membentuk karakter dan budi pekerti anak bangsa.Bukan menjadilkan santri sebagai bagian dari terorisme.Lembaga pendidikan keagamaan tidak pernah mengajarkan kekerasan, apalagi pesantren dan malah pesantren itulah yang mengajarkan toleransi.Dan pondok pesantren sejak dulu adalah tempat disemainya santri berkarakter yang mengajarkan kedamaian.Jadi kalau ada pesantren yang mengajarkan kekerasan dan tidak menghargai toleransi maka perlu dipertanyakan status pondok pesantren tersebut.
c.    Lembaga Pendidikan  dan Mall
              Perspektif pendidikan terlihat bahwa kedua variabel tesebut tenyata memiliki kaitan.Maraknya aktivitas pembangunan mall dewasa ini sangat kontraks dengan aktivitas pembangunan atau rehabilitasi gedung sekolah. Begitu banyak gedung sekolah atau lembaga pendidikan yang ambruk karena dimakan  usia, tetapi tidak mendapatkan serius dari pihak yang berwenang. Usaha untuk membangun lembaga pendidikan unggulan berjalan sangat lamban, sesuai teori deret hitung, sedangkan pembangunan mall  berjalan begitu cepat sesuai teori deret ukur.
              Kami setuju dengan pernyataan ini, perkembangan mall diberbagai kota di Indonesia mengalami kemajuan pesat. Tampilan-tampilan fisik bangunan mall pun didesain sedemikian rupa agar tampak anggun, elwgan dan memikat hati para konsumen.Berbagai aneka kebutuhan masyarakat disajikan disana mulai dari kebutuhan primer, sekunder bahkan tersier. Sehingga apa pun yang dibutuhkan masyarakat diberbagai mall pasti akan mudah didapati. Dan seolah menjadi pembenar bahwa wujudnya mall adalah untuk memanjakan kehidupan manusia. Tingginya antusias masyarakat yang memadati mall-mall diberbagai kota menjadi bukti betapa masyarakat sangat menikmati kehadiran mall. Lembaga pendidikan pun layaknya mall berusaha menggait pelanggan (para wali murid dan peserta didik) agar bisa terpikat  dan terperdaya olehnya. Lembaga pendidikan pun identik dengan mall, tak bisa dipungkiri berbagai trik dan jurus memikat pelanggan dikeluarkan oleh pihak lembaga pendidikan.Mulai dari memasang baliho besar-besaran, iklan promosi lewat media elektronik, pemberian “diskon” beasiswa bahkan melakukan promosi.Apalagi memasuki tahun ajaran baru intensitas dan ritme promosi lembaga pendidikan semakin menggila.
              Maraknya pendidikan mall dipastikan akan mendorong masyarakat menjadi sangat konsumtif. Sementara itu, usaha untuk mencerdaskan bangsa melalui lembaga pendidikan unggulan semakin jauh tertinggal. Kenyataan ini sangat menyedihkan masyarakat apalagi amanat undang-undang agarmengalokasikan APBN dan APBD minimal sebesar 20 % untuk sektor  pendidikan masih jauh dari harapan.[18]
              Kami setuju dengan hal ini, memang dengan hadirnya mall dikalangan masyarakat bisa memenuhi kebutuhan tapi disisi lain merugikan berdampak buruk terutama bagi kaum pelajar karena hanya akan fokus dengan hadirnya mall ini dan kewajibannya sebagai pelajar menjadi terbengkalai. Karena waktunya hanya dihabiskan untuk bersenang-senang dan menjadi lupa akan tugas-tugasnya disekolah.  
d.    Sekolah dan Isu Tukar Guling
              Nasib sekolah seringkali ditimpa isu tukar guling.Isu tukar guling yang dialami oleh salah satu SMP di bilangan melawai, Jakarta selatan.Tindakan tukar guling yang dilakukan oleh pihak-pihak yang berkepentingan telah membawa segudang permasalahan bagi siswa, orangtua siswa, guru, dan masyarakat pendidikan umumnya.
              Demikian pula halnya di Makassar, sebagaimana marak diberitakan di media televise nasional beberapa waktu terakhir ini, Pemkot Makassar berkeinginan kuat untuk melakukan tukar guling salah satu kompleks yang ditempati oleh empat buah Sekolah Dasar di Jalan Jenderal Sudirman yang tergolong elit di kota ini. Dikatakan elit, bukan saja karena tempatnya yang strategis, tetapi juga karena kualitas pendidikan di sejumlah SD ini tergolong bagus.
              Niat Pemkot Makassar untuk menukar gulingkan kompleks sejumlah SD tersebut spontan sajamendapatkan  proses keras dari orang tua murid dalam bentuk unjuk rasa turun ke jalan. Hal ini wajar karena tindakan tukar guling terhadap lembaga pendidikan seperti itu akan mengubah sosio-psokologis para murid dan orang tua serta masyarakat pendidikan pada umumnya yang sudah terlanjur menikmati fasilitas pendidikan yang memiliki image yang baik.
              Argumentasi yang dikemukakan pemerintah untuk sebuah proses tukar guling itu  selalu seolah-olah untuk kepentingan masyarakat luas. Akan tetapi, setelah ditelusuri secara serius ternyata yang paling menonjol adalah kepentingan kapitalisasi dan para pelaku tukar guling itu sendiri, baik dari kalangan birokrat  maupun pebisnis. Biasanya lokasi sekolah yang hendak ditukar guling itu secara ekonomis memiliki nilai kapital bisnis yang tinggi.
              Kami setuju dengan hal ini, karena kebanyakan masyarakat tidak melihat kualitas sebuah gedung, akan tetapi kebanyakan dari mereka melihat dan lebih mengarah terhadap sekolah yang megah.Dan pernyataan tentang kompleks yang mensejahterakan masyarakat itu, tidaklah benar dan tidaklah menguntungkan masyarakat banyak. Pertama birokrasi menciptakan kompleks demi kepentingan masyarakat, akan tetapi dilihat dari sisi mudaratnya masyarakat akan menjadi semut hitam yang akan selalu bekerja dan bekerja demi menutupi kebutuhan dan memenuhi keperluan permintaan kompleks.Kedua dengan di tukar gulingnya sekolah jadi kompleks tentunya masyarakat semakin bodoh dan semakin mendukung pernyataan kami yang pertama. Ketiga dengan adanya kaitan antara kompleks dan birokrasi ,setidaknya adalah sifat perbudakan yang akan dilakukan birokrasi terhadap masyarakat semut hitam yang lugu itu. keempat masyarakat akan merasa berhutang budi terhadap birokrasi yang seolah-olah mensejahterakan mereka akan tetapi memakmurkan birokrasi dengan penindasan secara perlahan dan terikat.













BAB III
                                                                    PENUTUP
A.   Kesimpulan
            Sepanjang sejarahnya, pemikiran dan gerakan pendidikan islam selalu saja berhadapan dengan bebagai tantangan, tetapi pada saat yang sama senantiasa pula dicari celah untuk mengubah berbagai tantangan tersebut menjadi peluang. Sebagai contoh, ketika pemikiran mengkonversi IAIN menjadi UIN  mendapat tantangan yang hampir tidak mungkin ditembus, maka diambillah jalan dengan menjadikan IAIN with wider mandate ( IAIN dengan mandat yang diperluas ) seprti yang terjadi di UIN Jakarta dan UIN Alauddin Makassar. Dengan begitu, IAIN tidak murni lagi IAIN seperti dimasa lalu, tetapi sudah menjadi IAIN transisional yaitu IAIN yang sudah mengakomodasi sejumlah program studi umum.Walaupun begitu belum bisa juga disebut sebagai murni universitas, sebab secara formal masih banyak persyaratan yang belum terpenuhi, terutama keputusan Presiden.
            Setelah perguruan tinggi islam, seperi IAIN dan STAIN dikonversi menjadi UIN, maka tantangannya pun tentu saja semakin besar pula. Oleh karena itu, untuk menjadikan pendidikan tinggi Islam tetap Survive dan kompentitif, maka diperlukan usaha-usaha secara terus menerus antara lain berupa: 1) mencerahkan masyarakat bahwa pendidikan itu adalah tanggung jawab bersama; 2) menyadarkan masyarakat bahwa pendidikan itu adalah investi; 3) membangun sinergi dengan sumber-sumber modal untuk menanamkan modalnya pada sektor pendidikan.
            Ketiga usaha di atas mengandung pengertian bahwa pendidikan itu selalu membutuhkan biaya tidak sedikit.Oleh karena itu, masyarakat harus dilibatkan secara aktif-partisipatif dalam pengolaan pendidikan secara riil.Itulah sebabnya, akhir-akhir ini dikembangkanlah konsep pendidikan berbasis masyarakat (Community-based education).



DAFTAR PUSTAKA
Azra, Azyumardi, “Integrasi Ilmu Agama dan Ilmu Umum: Gagasan dan solusi”,
   Makalah, disampaikan pada acara Studium General di IAIN Alauddin Makassar, 25Agustus 2004.
Damopolli, Muljono, “Corak Pembaruan Pesantren modern Pendidikan Al-Quran IMMIM
               Tamalanrea Makassar (Perspektif Komponen Kelembagaan dan Keorganisasian)”,
               Laporan Penelitian, Makassar : UIN Alauddin, 2005.
Nata Abuddin., tokoh-tokoh Pembaruan Pendidikan  Islam di Indonesia, Jakarta: PT
            RajaG rafindo Persada, 2005.
Nata,Abuddin. Manajemen Pendidikan : Mengatasi kelemahan  Pendidikan Islam di Indonesia,
              Jakarta: Prenada Media, 2003.  
Suwito, “Pendidikan yang Memberdayakan “, Pidato pengukuhan Guru Besar Sejarah
   Pemikiran dan Pendidikan Islam, Jakarta: Institut Agama Islam Negeri Syarif Hidayatullah, 2002.
Tafsir, Ahmad, Ilmu Pendidikan Islam dalam Perspektif Islam, cetakan ketiga, Bandung: PT
               Remaja Rosdakarya,2000.
Uhbiyati, Nur, Ilmu pendidikan Islam (IPI), Bandung: Pustaka Setia, 2005.


[1] Lihat” Program Pengembangan IAIN Alauddin Makassar menjadi Universitas Islam Negeri (UIN) Alauddin Makassar “, Executive summary ,Makassar : IAIN Alauddin Makassar, 2005, h. 4.
[2] M. Amin Abdullah, studi agama: Normativitas Historisitas?, cet. I, Yogyakarta: Pustaka Pelajar , 1996, h. 102
[3] Azyumardi Azra,  “Integrasi Ilmu Agama dan Ilmu Umum: Gagasan dan Solusi”, Makalah, disampaikan pada acara Studium General di IAIN Alauddin Makassar, 25 Agustus 2004, h.2.
[4]CD Holy Quran, Keluaran Kelima, Versi 6.50 with Indonesian and English Translation oleh Perusahaan Perangkat Lunak “Sakhr”, 1997.
5sudah tidak asing lagi terdengar di kalangan komunitas perguruan tinggi agama bahwa anggaran yang disediakan oleh pemerintah untuk membiayai IAIN seluruh Indonesia masih lebih sedikit dibandingkan dengan biaya yang disediakan oleh pemerintah untuk satu perguruan tinggi umum, misalnya, Universitas Hasanuddin..
[6] Lihat Azyumardi Azra, Pendidikan Islam : tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru , Jakarta: PT Logos Wacana Ilmu, 1999, hal 95.
[7] A. Malik Fadjar, Reorientasi Pendidikan Islam, Jakarta: Fajar Dunia, 1999, hal 79.
[8] Suwito, “Pendidikan yang Memberdayakan “, Pidato Pengukuhan Guru Besar Sejarah Pemikiran dan pendidikan Islam, Jakarta:Institut Agama Islam Negeri Syarif Hidayatullah, 2002, h.7
[9]Suwito, “Pendidikan yang Memberdayakan”, Pidato Pengukuhan Guru besar Sejarah Pemikiran dan Pendidikan Islam, h. 27.
[10]Abuddin Nata, Tokoh-tokoh Pembaruan Pendidikan Islam di Indonesia, h.392.
[11]Lihat Muljono Damopolii, “Corak Pembaruan Pesantren Modern Pendidikan Al-Quran IMMIM Tamalanrea Makassar (Persfektif Komponen Kelembagaan dan Keorganisasian)”, Laporan Penelitian, Makassar: UIN Alauddin, 2005, h. 93.
[12]Lihat” Undang-undang Guru Disahkan”, HarianKOMPAS, 7 Desember 2005, h. 12.
[13]Lihat “UU guru dan Dosen: Diberi Waktu 10 Tahun Dapatkan Sertifikasi”, Harian MEDIA INDONESIA, 7 Desember 2005, h. 1.
[14]Lihat Ki Supriyoko “UU Guru, antara Hak dan Kewajiban “, harianMEDIA INDONESIA, 6 Desember 2005, h. 16.
[15]Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, cetakan ketiga, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2000, h. 192
[16]Azyumardi azra, “Masalah dan kebijakan Islam di Era Otonomi Daerah”, Makalah, h. 5-6.
[17]Lihat “Pengambilan Sidik Jari Kontraproduktif”, Harian REPUBLIKA, 8 Desember 2005, h. 2.
[18]  Lihat Undang-undang Republik Indonesia No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (SISDIKNAS ), Bandung: Citra umbara, 2003, h. 31.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar