BAB l
PENDAHULUAN
A.Latar
belakang
Pendidikan Islam adalah sebagai suatu
disiplin ilmu yang diakui telah menjadi salah satu bidang studi dan telah
menarik minat kalangan pembelajar untuk
mengkajinya lebih serius, tetapi sebagai suatu bidang studi yang masih baru
tampaknya disiplin ilmu ini belumlah pesat perkembangannya dibandingkan dengan
sejumlah bidang studi islam lainnya.
Luasnya bidang kajian yang dicakup
oleh pendidikan Islam yang membahas isu-isu pendidikan Islam yang terjadi di
era reformasi maupun sebelum era reformasi.Maka realitasnya dapat digambarkan
secara singkat mulai dari era prakemerdekaan sampai era reformasi sekarang
ini.Dari perspektif pembaruan pemikiran dan gerakan Islam Indonesia, Kami akan
mengemukakan pendidik dalam perspektif Pendidikan Islam, dan bagaimana transformasi
pendidikan Islam itu akan difokuskan pada beberapa hal sebagai berikut:
1) Pembaruan pemikiran epistemologi
keilmuan
2) Pembaruan kelembagaan pendidikan Islam
3) Isu-isu kontemporer pendidikan
BAB II
PEMBAHASAN
POTRET PENDIDIKAN
ISLAM: Perspektif Pembaruan Pemikiran dan Gerakan Islam Indonesia Kontemporer
Dalam pendidikan Islam, pendidik
memiliki arti dan peranan yang sangat penting, hal ini disebabkan ia memiliki
tanggung jawab dan menentukan arah pendidikan. Itulah sebabnya Islam sangat
menghargai dan menghormati orang-orang yang berilmu pengetahuan dan bertugas
sebagai pendidik.Islam mengangkat derajat mereka dan memuliakan mereka melebihi
dari pada orang Islam lainnya yang tidak berilmu pengetahuan dan bukan
pendidik.
Allah berfirman:
Artinya:
“niscaya
Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman diantara kamu dan orang-orang
yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat.(QS. Al-Mujadalah:11)
Bahkan orang-orang yang berilmu
pengetahuan dan mau mengajarkan ilmunya kepada mereka yang membutuhkan akan
disukai oleh Allah dan didoakan oleh penghuni langit, penghuni bumi seperti
semut dan ikan didalam laut agar ia mendapatkan keselamatan dan kebahagian.
Rasulullah
SAW bersabda:
Artinya:
Sesungguhnya allah yang maha suci,
malaikat-Nya dan penghuni-penghuni langit_Nya serta bumi-Nya termasuk semut
dalam lubangnya dan termasuk ikan dalam laut akan mendoakan keselamatan bagi
orang-orang yang mengajar manusia sebagai kebaikan.(HR. Tirmizi)
Demikianlah
keberuntungan yang dimiliki oleh orang berilmu pengetahuan dan mau mengajarkan
ilmunya kepada orang lain. Sehubungan dengan itu maka Islam mengimbau kepada
orang berilmu untuk suka mengajarkan ilmunya kepada orang lain. Bagi mereka
yang tidak mau menanggapi himbauan tersebut bahkan menyembunyikan ilmu
pengetahuan yang dimilikinya maka ia diancam dengan siksa api neraka.
Rasulullah SAW bersabda:
Artinya: Barang siapa yang diajari
sesuatu ilmu dan dia menyembunyikannya, maka allah akan mengekangnnya dengan
siksa api neraka.(HR. abu Dawud, Tirmidzi dan Ibnu Hibban)
Agar pendidik berhasil melaksanakan
tugasnya, Al-Ghazali menyarankan pendidik memiliki adab yang baik. Hal ini
disebabkan anak didik itu akan selalu melihat kepadanya sebagai contoh yang
harus selalu diikutinya, Al-Ghazali berkata:
“mata
anak didik selalu tertuju kepadanya, telinganya selalu menganggap baik berate
baik pula disisi mereka dan apabila ia menganggap jelek berarti jelek pula
disisi mereka.”
(Team penyusun, Filsafat Pendidikan Islam Departemen Agama RI tahun 1984, hal.
168).
Transformasi Pendidikan Islam yaitu
sebagai berikut:
1) Pembaruan Epistemologi keilmuan
Pendidikan Islam
Di
masa lalu anggapan bahwa ilmu agama dan ilmu umum merupakan dua ilmu yang
dikotomis.Oleh karena itu, keduanya sulit untuk disatukan. Dengan begitu,
sebagai implikasinya, lembaga pendidikan umum berdiri di mana-mana dengan
gagahnya di negeri ini, sedangkan lembaga pendidikan islam harus berjuang
sedemikian rupa agar bisa eksis secara kualitatif. Sebab lembaga pendidikan
islam belumlah dianggap sejajar dengan lembaga pendidikan umum.
Kami
tidak setuju dengan hal ini, ilmu agama dan ilmu umum tidak dikotomikan,
sebagaimana penjelasan dari bapak bahwa dimasa lalu ilmu agama dan ilmu umum
merupakan dua ilmu yang dikotomis. Namun, kami dapat mengaitkannya dalam sunah
Nabi saw, dimana kita tidak hanya disuguhkan ilmu syari’at agama, tetapi juga
informasi yang berkaitan dengan sains seperti fisika, matematika, seni,
embriologi dan astronomi. Tahapan-tahapan dan masa pertumbuhan embrio janin
dalam kandungan mulai pertemuan sperma menjadi alaqah(gumpalan darah) kemudian
nutfah (daging) dan peniupan ruh serta penulisan takdir kehidupan (HR Bukhari
dan Muslim). Pemahaman seperti itulah yang dimiliki oleh para ulama terdahulu
dimasa kejayaanislam dan mereka tidak mengenal istilah dikotomis sehingga
mereka banyak menguasai ilmu selain ilmu agama, karena bagi mereka semua jenis
ilmu berada dalam satu bangunan pemikiran yang bersumber daari Allah swt.
semuanya mengarah pada tujuan yaitu mengenai dan menyembah Allah swt. sesuai
dengan kodrat diciptakannya manusia.
Pembidangan
keilmuan yang sudah baku-ilmu alam, ilmu sosial, dan humaniora –dipandang perlu
menempatkan etika islam yang bersumber pada nilai-nilai universal Alquran dan
hadis Nabi untuk menjiwai seluruh bidang keilmuan tersebut.[1]pandangan
semacam ini menjadi sangat mungkin dilihat bila dilihat dari sisi teori
perubahan sosial yang lebih dikenal dengan shifting
paradigm yaitu suatu teori yang menjelaskan bahwa hampir semua jenis
kegiatan ilmu pengetahuan, baik natural
sciences maupun social sciences,
bahkan religious sciences, selalu
mengalami apa yang disebut dengan shifting
paradigm.shifting paradigm adalah
adanya pergeseran gugusan pemikiran keilmuan yang memungkinkan terjadinya
perubahan. Pergeseran, perbaikan, perumusan kembali, nasikh- mansukh, serta penyempurnaan rangsang bangun epistemology
keilmuan.[2]Dengan
begitu, maka usaha untuk melakukan integrasi ilmu agama dan ilmu umum dalam
sebuah lembaga pendidikan secara utuh bukanlah sesuatu yang tabu.
Memadukan
ilmu agama dan ilmu umum dalam dinamika pendidikan islam dimaknai Azhumardi
Azra sebagai upaya memberikan pemahaman bahwa pada dasarnya seluruh ilmu itu
berasal dari yang Maha Esa, sedangkan usaha pendalaman dan pengembangan
terhadap keduanya merupakan manifestasi ibadah.[3]
Boleh jadi kemunduran pendidikan Islam lebih
disebabkan oleh adanya pandangan dikotomis tentang ilmu-ilmu umum agama.
Padahal jika ditelusuri secara mendalam, Islam sebenarnya tidak mengenal adanya
dikotomi tersebut.Pandangan ini sejalan dengan firman Allah dalam QS. Al-‘alaq
(96):1-5, sebagai berikut:
ÙˆَرَبُّÙƒَ
اقْرَØ£ْ -Ù¢- عَÙ„َÙ‚ٍ Ù…ِÙ†ْ الْØ¥ِنسَانَ Ø®َÙ„َÙ‚َ -Ù¡- Ø®َÙ„َÙ‚َ الَّØ°ِÙŠ رَبِّÙƒَ بِاسْÙ…ِ اقْرَØ£ْ
(Ù¥) ÙŠَعْÙ„َÙ…ْ Ù„َÙ…ْ Ù…َا الْØ¥ِنسَانَ عَÙ„َّÙ…َ
-Ù¤- بِالْÙ‚َÙ„َÙ…ِ عَÙ„َّÙ…َ الَّØ°ِÙŠ -Ù£- الْØ£َÙƒْرَÙ…ُ
(1) Bacalah
dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang menciptakan, (2) Dia telah menciptakan
manusia dari segumpal darah. (3) Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah, (4)
Yang mengajar (manusia) dengan perantaraan kalam. (5) Dia mengajarkan kepada
manusia apa yang tidak diketahuinya.[4]
Dari
ayat di atas dipahami bahwa segala sesuatu yang dikerjakan hendaklah dimulai
dengan menyebut nama Allah, sebab inilah yang menjadi kunci, apakah suatu
pekerjaan memiliki ruh keislaman atau tidak, selanjutnya dengan tegas Allah
mengatakan bahwa Dia telah mengajarkan kepada manusia apa yang tidak
diketahuinya. Di sini allah tidak membedakan bahwa yang diajarkan-Nya itu
adalah ilmu agama atau ilmu umum. Dengan begitu, maka dipahami bahwa asal ilmu,
baik ilmu agama maupun ilmu umum, pastilah berasal dari sumber yang satu yaitu
Allah.Artinya, kalau umat Islam mau memajukan pendidikan Islam, maka perilaku
mendikotomikan ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu umum haruslah ditinggalkan. Karena
akan membawa kemunduran bagi umat islam.
Kami
sangat setuju dengan pernyataan ini, karena dalam ilmu agama idak lagi
mendikotomkan ilmu,sesuai dengan permintaan perubahan dan kajian yang semakin
mendalam.
2)
Pembaruan
Kelembagaan Pendidikan Islam
Jika
dicermati inti gagasan soal ujian komprehensif program doktor UIN Jakarta
seperti dikutip pada awal tulisan ini, maka setidaknya ada empat hal yang dapat
ditarik di dalamnya yaitu:
a.
Kuliah
di perguruan tinggi luar negeri lebih mudah ;
b.
Lulusan di perguruan tinggi luar negeri lebih marketable dalam mendapatkan lapangan
pekerjaan;
c.
Kuliah
di perguruan tinggi dalam negeri lebih “sulit” karena banyaknya mata kuliah
yang tidak relevan; dan
d.
Lulusan
perguruan tinggi dalam negeri sulit mendapatkan lapangan pekerjaan.
Kami setuju dalam
hal ini, kuliah diluar negeri memang sangat memudahkan kita.Karena mata kuliah
yang ada sangat relevan dengan prodi yang kita minati.Berbeda halnya dalam
negeri banyak sekali mata kuliah yang tidak relevan dengan prodi yang kita
minati.Sehingga memberatkan kita dalam memahami dengan alasan banyaknya tugas
dan ilmu yang tidak mengarah terhadap prodi yang kita geluti.
Dengan begitu,
disadari bahwa lembaga pendidikan tinggi Islam harus berbena diri dan melakukan
transformasi untuk menjawab tantangan zaman yang semakin kompetitif dan
kompleks.Perguruan tinggi Islam dianggap tidak marketable lagi dalam menghadapi persaingan global.Boleh jadi, hal
ini disebabkan oleh adanya ekspansi pendidikantinggiumum yang dari dulu lebih
mendapat perhatian dari pemerintah dibandingkan pendidikan tinggi agama.[5]
Asumsi ini dapat dikritisi dengan memakai teori Azra tentang pesantren yang
mensinyalir bahwa:
Tidak banyak lembaga-lembaga pendidikan tradisional Islam
seperti pesantren yang mampu bertahan menghadapi ekspansi sistem pendidikan
umum untuk tidak menyebut sistem pendidikan sekuler. Dengan begitu, sebagai
konsekuensinya, Pertama pesantren lenyap setelah tergusur oleh system
pendidikan umum; ,Kedua, pesantren mengalami transformasi menjadi lembaga
pendidikan umum; dan ketiga, pesantren setidak-tidaknya menyesuaikan diri dan
mengadopsi sedikit banyak isi dan metodologi pendidikan umum.[6]
Apa yang terjadi pada pesantren
tradisional seperti sinyalemen Azra di atas tampaknya terjadi pula pada
perguruan tinggi Islam. Lahirnya UIN adalah jawaban atas fenomena tersebut,
walaupun tidak sedikit umat Islam yang menentangnya karena dianggap akan
melemahkan pendidikan Islam itu sendiri. Akan tetapi, pandangan yang terakhir
ini dikritisi pula oleh A. Malik Fadjar, bahwa pada tataran
normatife-filosofis, pendidikan Islam seringkali hanya terjebak pada perdebatan
semantik, apakah menggunakan tarbiyah,
ta’dib atau ta’lim. Bahkan lebih dari itu, pendidikan Islam pun sesungguhnya
masih terjebak pada dikotomi dualisme ilmu-ilmu umum dan ilmu-ilmu agama.[7]
Ini artinya pendidikan Islam akan sulit mencapai kejayaannya kalau mental para
pengolanya (umat Islam) masih berkutat pada hal-hal yang mestinya sudah
selesai.
Kami dalam hal ini tidak
setuju.Dikarenakan ilmu agama tidak lagi mendikotomikan ilmu umum dengan ilmu
agama.Dan juga semakin memperdalam ilmu dalam kajian dan aplikasinya.Ini dapat
kita lihat dalam kajian ilmu agama yang mngehubungkannya kedalam ilmu kajian
lainnya.An juga mengait eratkan dengan era modern yang semakin menunjukkan
kemahirannya dalam ilmu umum. Tidak hanya sampai disitu, dalam ilmu agama juga
semakinmemperat kajiannya baik itu imu umum maupun filsafat yang dimana sudah
menjadi kajian dalam ilmu agama yang mulai disadari akan hubungannya.
Adanya landasan naqli yang menegaskan bahwa baik ilmu umum maupun ilmu agama
berasal dari Tuhan Yang Satu, maka sudah waktunya lembaga pendidikan Islam
mandapatkan perhatian yang serius, bukan saja dari pemerintah, tetapi juga dari
umat Islam itu sendiri. Kualitas pendidikan Indonesia termasuk di dalamnya
pendidikan Islam sebagaimana dikutip Suwito dari laporan A. Malik Fadjar,
Mendiknas ketika itu, pada rapat Koordinasi Kesejahteraan Rakyat, tanggal 12 september 2001, pada intinya sepakat
dengan laporan The Jakarta Post edisi
3 september 2001. Laporan tersebut menyebutkan hasil penelitian yang dilakukan
oleh The Political and Economy
RiskConsultancy (PERC) yang berbasis di Hongkong bahwa pendidikan Indonesia
berada di urutan ke-12 setelah Vietnam.[8]Suwito
mengemukakan tentang potret perjalanan lembaga pendidikan Islam dalam upaya
berbenah diri.
Upaya mengkritisi pesantren tradisional melahirkan pesantren
modern.Upaya mengkritisi kedua model pesantren tersebut melahirkan pesantren
kilat.Upaya mengkritisi terhadap madrasah tradisional yang hanya mempelajari
ilmu-ilmu agama melahirkan madrasah modern yang mempelajari juga ilmu-ilmu
umum. Upaya mengkritisi Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri (PTAIN) di
Yogyakarta dan Akademi Dinas Ilmu Agama (ADIA) dijakarta, melahirkan Institut
Agama Islam Negeri (IAIN) melalui peraturan Presiden No.11 Tahun 1960. Kritik
dan atau ketidakpuasan terhadap IAIN yang menyediakan program studi keagamaan
semata, melahirkan IAIN with wider mandate (dengan mandate yang
diperluas).Upaya mengkritisi berbagai IAIN cabang melahirkan STAIN. BIsa jadi
upaya mengkritisi IAIN with wider mandate akan melahirkan Universitas Islam
Negeri (UIN).0[9]
Realitas yang
disampaikan oleh Suwito di atas mengandung pengertian bahwa sepanjang
menyangkut persoalan pendidikan, maka yang terjadi adalah perubahan atau
penyempurnaan secara terus menerus.Tidak boleh ada keputusan final yang
menyebabkan dunia pendidikan menjadi stagnan apalagi jumud.Inilah mungkin yang
disebut oleh A. Malik Fadjar sebagai “mimpi-mimpi besar” yang sebaiknya menjadi
obsesi semua akademisi. Ketika pidato pengukuhan guru besar tersebut
disampaikan oleh Prof. Dr. Suwito, M.A. pada tanggal 3 januari 2002, keinginan
untuk menjadi UIN Jakarta barangkali masih menjadi mimpi besar, tetapi hari
ini, mimpi besar tersebut telah menjadi kenyataan. Universitas Islam Negeri
(UIN) Jakarta telah menjadi perguruan tinggi Islam bergengsi (the most competitiveuniversity) yang
sangat layak disejajarkan dengan perguruan tinggi umun yang lebih dahulu ada.
Hal di atas
diakui oleh Nata bahwa di bawah kepemimpinan Azyumardi Azra sebagai rektor,
citra Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif HIdayatullah Jakarta sebagai
representasi perguruan tinggi Islam telah berhasil disejajarkan dengan
perguruan tinggi umum yang berada di bawah naungan Departemen Pendidikan
Nasional. Bahkan kini, UIN yang dipimpin Azra ini diakui sebagai Universitas
Islam terbaik di Asia Tenggara. Berbagai komponen pendidikan, mulai dari visi,
misi, tujuan, kurikulum, kompetensi dosen, proses belajar mengajar, sarana
prasarana, dan sebagainya sudah ditingkatkan menjadi bertarap nasional, bahkan
internasional. UIN Syarif Hidayatullah Jakarta telah menjadi kebanggaan umat
dan bangsa Indonesia.[10]Walaupun
begitu, kemajuan yang dicapai oleh UIN Jakarta bukanlah sesuatu yang terjadi
secara serta merta, tetapi telah melalui tahapan-tahapan yang penuh dengan
perjuangan. Gagasan untuk mengkonversi IAIN menjadi UIN sebenarnya telah lama
menjadi wacana, tetapi barulah terlaksana ketika perguruan tinggi Islam ini di
bawah kepemimpinan Azyumardi Azra sebagai
rektor.
Konversi
IAIN/STAIN menjadi UIN dilakukan sebagai respons atas kenyataan bahwa Madrasah
Aliyah yang menjadi basis utama pemasok calon
mahasiswa ke IAIN /STAIN ternyata bukan lagi Madrasah Aliyah yang kental
dengan jurusan agama, melainkan telah menjadi sekolah umum. Jurusan agama masih
tetap ada di Madrasah Aliyah, tetapi jumlahnya sudah sangat sedikit.Dengan
begitu, bila ada lulusan program studi agama dari IAIN/STAIN boleh jadi tidak
dapat ditampung di Madrasah Aliyah karena jurusan agama di lembaga pendidikan
tersebut sudah sangat sedikit.Artinya, kompetisi lulusan IAIN/STAIN tidak
diperlukan lagi secara pasif di Madrasah aliyah.
Sebuah penelitian
yang baru-baru ini dilakukan oleh penulis menemukan bahwa pesantren sebagai
lembaga pendidikan Islamyang selama ini paling kental mengakomodasi materi
pendidikan agama ternyata tidak lagi berbasis MTs dan MA, tetapi sudah berbasis
SMP dan SMU.[11]
Ini artinya, para alumni dari lembaga pendidikan islam ini, secara vertikal,
tentu membutuhkan lembaga pendidikan tinggi Islam yang tidak hanya berbasis
jurusan agama semata, tetapi juga berbasis jurusan ilmu umum.
Kami setuju dalam
hal ini karena pesantren kini mulai berbasis dengan SMP dan SMU, ini terbukti
dengan penambahan jadwal pelajaran MIPA dan mulai mengurangi jadwal pelajaran
agama yang menjadi kajian utamanya, akan tetapi dalam hal ini tidak dihilangkan
dan tetap menjadi penilaian yang utama bagi siswa - siswi yang berbakat dan
lebih mahir dalam pelajaran agama tersebut. Dalam hal ini bukan pelajaran ilmu
umum tidak diperhatikan akan tetapi hanya tidak mau menghilangkan jejak dan
pandangan masyarakat bahwa pondok pesantren tidak lagi mengkaji ilmu agama.
Dalam hal Ini ilmu umum hanya akan disenangi dan diperhatikan hanya dalam ruang
lingkup yayasan itu sendiri, dan tidak diikutsertakan dalam hal kepopuleran
pesantren dan kemahiran siswa - siswi dalam hal ilmu umum. Pihak yayasan
hanya mencoba menjaga pemahaman
masyarakat terhadap pesantren itu saja.
3) Isu-isu kontemporer Pendidikan
Berbagai isu-isu
pendidikan, termasuk di dalamnya pendidikan Islam, dapat dipaparkan sebagai
berikut:
a.
Undang-undang
Guru dan Dosen
Pengesahan RUU Guru dan Dosen yang dilakukan dalam sidang
paripurnaDPR RI tanggal 6 desember 2005 dimaksudkan untuk memperbaiki wajah
pendidikan di Indonesia melalui perbaikan nasib guru dosen. Undang-undang ini
diperlukan untuk mendorong peningkatan kualitas guru dan dosen, termasuk
perlindungan profesi dan kesejahteraannya.[12]Akan
tetapi, setelah disahkan menjadi undang-undang ternyata produk legislasi DPR
tersebut tidak serta-merta menjadikan nasib guru dan dosen terangkat
ekonominya. Sebab, tunjangan model baru dari guru dan dosen itu akan efektif
paling cepat tahun 2007. Hal ini terjadi karena APBN tahun 2006 sudah lebih
dahulu disahkan oleh DPR dan di dalamnya belum tercantum tunjangan tersebut.
Dalam kaitan ini, berbagai media menyebutkan bahwa tunjangan profesi guru yang
sudah tersertifikasi baru akan dibayarkan pada bulan oktober 2007. Boleh jadi
informasi ini ada benarnya, sebab sejumlah aktivitas terkait sertifikasi guru
dan dosen ini sudah mulai dilakukan, misalnya: aktivitas pemetaan guru dan
dosen untuk menentukan siapa yang lebih dahulu disertifikasi; penyiapan rancangan peraturan pemerintah; dan penyiapan rancangan
keputusan menteri yang akan dijadikan sebagai landasan hukum bagi implementasi
Undang-undang Guru dan Dosen tersebut.
Ketika
Undang-undang Guru dan Dosen tersebut lahir, komunitas guru dan dosen berharap
banyak kepada pemerintah untuk segera membuat Peraturan Pemerintah yang
mengatur perihal akredisasi, sertifikasi, kualifikasi, tunjangan dan lain-lain,
sehingga undang-undang ini menjadi efektif dan bermanfaat bagi guru dan dosen
serta memberi implikasi positif bagi dunia pendidikan secara keseluruhan.
Walaupun Undang-undang Guru dan Dosen telah lahir, tetapi masyarakat pendidikan,
terutama guru dan dosen yang menjadi fokus undang-undang ini, ternyata justru
diperhadapkan kepada persoalan baru yang menjadi kewajiban mereka. Menurut
Mendiknas, Bambang Sudibyo, pemerintah memberikan waktu sepuluh tahun mulai
2007 bagi para guru untuk memenuhi persyaratan sertifikasi profesi pendidikan
dengan memiliki gelar sarjana serta lulus uji sertifikasi.[13]
Itulah sebabnya, kelahiran Undang-undang Guru dan Dosen yang sudah memasuki
tahun kedua itu, hingga saat ini belum juga memberi kesejahteraan kepada guru
dan dosen secara nyata.
Jumlah guru
di Indonesia yang telah diangkat, baik itu sebagai PNS maupun guru swasta
tetap, mencapai 2,7 juta orang. Dari jumlah tersebut baru 570.000 guru yang
memiliki ijazah sarjana.Mereka itu pada umumnya guru-guru yang baru diangkat.
Ini artinya, kurang lebih 2,2 juta guru harus disekolahkan kembali.Hal tersebut
bukanlah pekerjaan yang mudah, terutama bagi guru-guru yang tidak tergolong
muda lagi dan tinggal di daerah terpencil yang jauh dari pusat pendidikan.Jika
selama sepuluh tahun masih ada guru yang tidak memenuhi persyaratan tersebut,
maka guru yang bersangkutan harus berhenti mengajar.Alih-alih berharap untuk
mendapatkan gaji yang berlipat, nasib guru malah masih harus diperjuangkan oleh
diri mereka sendiri, antara kewajiban beban mengajar dan kewajiban meng-upgrade diri mereka untuk mendapatkan
sertifikasi.
Saya setuju
dengan pernyataan bapak, UUD guru dan dosen memang sangat menguntungkan
baginya, namun sangat menyusahkan bagi guru yang berada pada desa terpencil dan
juga ketika sedang melaksanakan sertifikasi pastinya proses belajar mengajar
akan sangat terganggu, otomatis akan libur sekolah atau adanya jadwal yang
tidak terpenuhi. Dilihat juga dari ketetapan yang memberikan jangka waktu hanya
sepuluh tahun dan itu menjadi kewajiban tersendiri bagi guru dan dosen meskipun
memberikan kesejahteraan yang akan terwujud sesudahnya.dan dengan hal ini maka
akan menjadi beban bagi guru dan dosen ehingga tak lagi memikirkan tujuan
utamanya untuk mencerdaskan umat, tapi lebih mengarahkan pikirannya untuk
mendapatkan gelar sarjana dan sertifikasi yang menggoyahkan tujuannya. Karena
dalam pikirannya setidaknya dapat mempertahankan kedudukannya sebagai pengajar
juga mendapatkan imbalan yang lebih.
Tunjangan
sebesar satu kali gaji pokok, baru akan didapat seorang guru setelah kewajiban
kualifikasi dan sertifikasinya terpenuhi. Padahal gaji guru dan dosen yang
selama ini berlaku masih tergolong sangat kecil.Sebagai perbandingan, seorang
guru di Jepang yang baru diangkat digaji sebesar 200.000 yen atau setara dengan
17 juta rupiah. Bahkan, seorang pengangguran di Belanda diberi tunjangan
sebesar 1.800 gulden atau setara dengan 9,1 juta rupiah.[14]Lalu
bagaimana dengan sistem penggajian guru di Indonesia?Walaupun gaji guru saat
ini dinaikkan 300 % masih jauh lebih kecil dibandingkan dengan tunjangan
seorang pengangguran di Belanda.
b.
Pesantren
dan Terorisme
Di masa
lalu, ketika bangsa ini masih menghadapi penindasan kaum penjajah, pesantren
telah memainkan peranan penting berupa menggerakkan, memimpin, dan melakukan
perjuangan dalam rangka mengusir kaum penjajah. Seorang pakar sejarah dari
Universitas Padjajaran, Muhammad Mansur Suryanegara, sebagaimana dikutip ahmad
Tafsir, menyatakan bahwa sulit mencari gerakan melawan penjajah di Indonesia
yang bukan digerakkan dan dipimpin oleh orang pesantren.[15]Oleh
karena itu, dalam mengisi kemerdekaan ini, pemerintah seringkali menggunakan
pesantren untuk melakukan sosialisasi berbagai programnya.Hal ini wajar, sebab
pesantren secara riil memang memiliki pengaruh yang sangat kuat terhadap
komunitasnya dan masyarakat sekitar. Apalagi institusi pesantren, sebagaimana
disinyalir Azra, termasuk salah satu lembaga pendidikan berbasiskan masyarakat (Community-based education ) yang telah
diselenggarakan oleh kaum muslimin Indonesia. Hal ini logis, karena pendirian
lembaga-lembaga pendidikan itu berkaitan erat dengan motivasi keagamaan untuk
menyediakan pendidikan Islam guna mendidik putra-puteri mereka.[16]
Akan tetapi, kontras dengan kenyataan historis di atas,
dunia pesantren saat ini sedang menghadapi stigma buruk pasca peristiwa September 11 attacks. Peristiwa serangan
tersebut telah merubah wajah pesantren yang tadinya disanjung menjadi dicurigai
karena disinyalir memilki kontribusi dalam melahirkan patriotisme teroris
menyusul maraknya peledakan bom bunuh diri di Indonesia.
Stigmatisasi dunia pesantren seperti itu telah
memperburuk wajah pendidikan Islam. Pada Umumnya tokoh-tokoh pesantren, seperti
ketua MPR, hidayat Nur Wahid, melakukan protes keras terhadap rencana
pemerintah melalui institusi POLRI untuk mengambil sidik jari komunitas santri
karena alasan keamanan[17]
Hal ini telah melukai hati komunitas pesantren karena suatu dugaan buruk yang
dialamatkan kepada mereka. Padahal dunia pesantren secara institusional menepis
keras dugaan bahwa kurikulum yang diajarkan di pesantren mengandung ideologi
terorisme. Kalaupun ada pelaku terorisme yang tertangkap dan mengaku memiliki
latar belakang pesantren dapat dipastikan bahwa mereka itu telah terkontaminasi
dengan lingkungan lain di luar pesantren, bukan karena didikan yang diperolehnya
dipesantren.
Kami tidak
setuju dengan hal ini, pengambilan sidik jari hanya akan membuat jiwa santri
semakin gelisah dan merasa tidak tenang dengan apa yang menjadi kesenangannya.
Dalam hal ini, jiwa santriterasa terancam meskipun bukan mereka yang bertindak
sebagai teroris. Sesuai dengan pernyataan seorang guru besar yang menyatakan” tidak ada santri pencuri
yang ada pencuri masuk santri”. Jadi disini kami dapat menyimpulkan bahwa
anggapan yang pers lemparkan terhadap pondok pesantren itu terjadi kesalah
pahaman, dimana ada pemicu tersendiri yang mengarahkan pemahaman masyarakat
terhadap pondok pesantren itu sendiri.Lembaga pendidikan pesanren memiliki
peran besar dalam membentuk karakter dan budi pekerti anak bangsa.Bukan
menjadilkan santri sebagai bagian dari terorisme.Lembaga pendidikan keagamaan
tidak pernah mengajarkan kekerasan, apalagi pesantren dan malah pesantren
itulah yang mengajarkan toleransi.Dan pondok pesantren sejak dulu adalah tempat
disemainya santri berkarakter yang mengajarkan kedamaian.Jadi kalau ada
pesantren yang mengajarkan kekerasan dan tidak menghargai toleransi maka perlu
dipertanyakan status pondok pesantren tersebut.
c.
Lembaga
Pendidikan dan Mall
Perspektif pendidikan terlihat bahwa kedua variabel
tesebut tenyata memiliki kaitan.Maraknya aktivitas pembangunan mall dewasa ini
sangat kontraks dengan aktivitas pembangunan atau rehabilitasi gedung sekolah.
Begitu banyak gedung sekolah atau lembaga pendidikan yang ambruk karena
dimakan usia, tetapi tidak mendapatkan
serius dari pihak yang berwenang. Usaha untuk membangun lembaga pendidikan
unggulan berjalan sangat lamban, sesuai teori deret hitung, sedangkan
pembangunan mall berjalan begitu cepat
sesuai teori deret ukur.
Kami setuju
dengan pernyataan ini, perkembangan mall diberbagai kota di Indonesia mengalami
kemajuan pesat. Tampilan-tampilan fisik bangunan mall pun didesain sedemikian
rupa agar tampak anggun, elwgan dan memikat hati para konsumen.Berbagai aneka
kebutuhan masyarakat disajikan disana mulai dari kebutuhan primer, sekunder
bahkan tersier. Sehingga apa pun yang dibutuhkan masyarakat diberbagai mall
pasti akan mudah didapati. Dan seolah menjadi pembenar bahwa wujudnya mall
adalah untuk memanjakan kehidupan manusia. Tingginya antusias masyarakat yang
memadati mall-mall diberbagai kota menjadi bukti betapa masyarakat sangat
menikmati kehadiran mall. Lembaga pendidikan pun layaknya mall berusaha
menggait pelanggan (para wali murid dan peserta didik) agar bisa terpikat dan terperdaya olehnya. Lembaga pendidikan
pun identik dengan mall, tak bisa dipungkiri berbagai trik dan jurus memikat
pelanggan dikeluarkan oleh pihak lembaga pendidikan.Mulai dari memasang baliho
besar-besaran, iklan promosi lewat media elektronik, pemberian “diskon”
beasiswa bahkan melakukan promosi.Apalagi memasuki tahun ajaran baru intensitas
dan ritme promosi lembaga pendidikan semakin menggila.
Maraknya pendidikan mall dipastikan akan mendorong
masyarakat menjadi sangat konsumtif. Sementara itu, usaha untuk mencerdaskan
bangsa melalui lembaga pendidikan unggulan semakin jauh tertinggal. Kenyataan
ini sangat menyedihkan masyarakat apalagi amanat undang-undang
agarmengalokasikan APBN dan APBD minimal sebesar 20 % untuk sektor pendidikan masih jauh dari harapan.[18]
Kami setuju
dengan hal ini, memang dengan hadirnya mall dikalangan masyarakat bisa memenuhi
kebutuhan tapi disisi lain merugikan berdampak buruk terutama bagi kaum pelajar
karena hanya akan fokus dengan hadirnya mall ini dan kewajibannya sebagai
pelajar menjadi terbengkalai. Karena waktunya hanya dihabiskan untuk
bersenang-senang dan menjadi lupa akan tugas-tugasnya disekolah.
d.
Sekolah
dan Isu Tukar Guling
Nasib sekolah seringkali ditimpa
isu tukar guling.Isu tukar guling yang dialami oleh salah satu SMP di bilangan
melawai, Jakarta selatan.Tindakan tukar guling yang dilakukan oleh pihak-pihak
yang berkepentingan telah membawa segudang permasalahan bagi siswa, orangtua
siswa, guru, dan masyarakat pendidikan umumnya.
Demikian pula halnya di Makassar, sebagaimana marak
diberitakan di media televise nasional beberapa waktu terakhir ini, Pemkot
Makassar berkeinginan kuat untuk melakukan tukar guling salah satu kompleks
yang ditempati oleh empat buah Sekolah Dasar di Jalan Jenderal Sudirman yang
tergolong elit di kota ini. Dikatakan elit, bukan saja karena tempatnya yang
strategis, tetapi juga karena kualitas pendidikan di sejumlah SD ini tergolong
bagus.
Niat Pemkot Makassar untuk menukar gulingkan kompleks
sejumlah SD tersebut spontan sajamendapatkan
proses keras dari orang tua murid dalam bentuk unjuk rasa turun ke
jalan. Hal ini wajar karena tindakan tukar guling terhadap lembaga pendidikan
seperti itu akan mengubah sosio-psokologis para murid dan orang tua serta
masyarakat pendidikan pada umumnya yang sudah terlanjur menikmati fasilitas
pendidikan yang memiliki image yang
baik.
Argumentasi yang dikemukakan pemerintah untuk sebuah
proses tukar guling itu selalu
seolah-olah untuk kepentingan masyarakat luas. Akan tetapi, setelah ditelusuri
secara serius ternyata yang paling menonjol adalah kepentingan kapitalisasi dan
para pelaku tukar guling itu sendiri, baik dari kalangan birokrat maupun pebisnis. Biasanya lokasi sekolah yang
hendak ditukar guling itu secara ekonomis memiliki nilai kapital bisnis yang tinggi.
Kami
setuju dengan hal ini, karena kebanyakan masyarakat tidak melihat kualitas
sebuah gedung, akan tetapi kebanyakan dari mereka melihat dan lebih mengarah
terhadap sekolah yang megah.Dan pernyataan tentang kompleks yang
mensejahterakan masyarakat itu, tidaklah benar dan tidaklah menguntungkan
masyarakat banyak. Pertama birokrasi menciptakan kompleks demi kepentingan
masyarakat, akan tetapi dilihat dari sisi mudaratnya masyarakat akan menjadi semut
hitam yang akan selalu bekerja dan bekerja demi menutupi kebutuhan dan memenuhi
keperluan permintaan kompleks.Kedua dengan di tukar gulingnya sekolah jadi
kompleks tentunya masyarakat semakin bodoh dan semakin mendukung pernyataan
kami yang pertama. Ketiga dengan adanya kaitan antara kompleks dan birokrasi
,setidaknya adalah sifat perbudakan yang akan dilakukan birokrasi terhadap
masyarakat semut hitam yang lugu itu. keempat masyarakat akan merasa berhutang
budi terhadap birokrasi yang seolah-olah mensejahterakan mereka akan tetapi
memakmurkan birokrasi dengan penindasan secara perlahan dan terikat.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Sepanjang
sejarahnya, pemikiran dan gerakan pendidikan islam selalu saja berhadapan
dengan bebagai tantangan, tetapi pada saat yang sama senantiasa pula dicari
celah untuk mengubah berbagai tantangan tersebut menjadi peluang. Sebagai
contoh, ketika pemikiran mengkonversi IAIN menjadi UIN mendapat tantangan yang hampir tidak mungkin
ditembus, maka diambillah jalan dengan menjadikan IAIN with wider mandate (
IAIN dengan mandat yang diperluas ) seprti yang terjadi di UIN Jakarta dan UIN
Alauddin Makassar. Dengan begitu, IAIN tidak murni lagi IAIN seperti dimasa
lalu, tetapi sudah menjadi IAIN transisional yaitu IAIN yang sudah
mengakomodasi sejumlah program studi umum.Walaupun begitu belum bisa juga
disebut sebagai murni universitas, sebab secara formal masih banyak persyaratan
yang belum terpenuhi, terutama keputusan Presiden.
Setelah perguruan tinggi islam,
seperi IAIN dan STAIN dikonversi menjadi UIN, maka tantangannya pun tentu saja
semakin besar pula. Oleh karena itu, untuk menjadikan pendidikan tinggi Islam
tetap Survive dan kompentitif, maka
diperlukan usaha-usaha secara terus menerus antara lain berupa: 1) mencerahkan
masyarakat bahwa pendidikan itu adalah tanggung jawab bersama; 2) menyadarkan
masyarakat bahwa pendidikan itu adalah investi; 3) membangun sinergi dengan
sumber-sumber modal untuk menanamkan modalnya pada sektor pendidikan.
Ketiga usaha di atas mengandung
pengertian bahwa pendidikan itu selalu membutuhkan biaya tidak sedikit.Oleh
karena itu, masyarakat harus dilibatkan secara aktif-partisipatif dalam
pengolaan pendidikan secara riil.Itulah sebabnya, akhir-akhir ini
dikembangkanlah konsep pendidikan berbasis masyarakat (Community-based education).
DAFTAR PUSTAKA
Azra, Azyumardi, “Integrasi Ilmu Agama
dan Ilmu Umum: Gagasan dan solusi”,
Makalah,
disampaikan pada acara Studium General di IAIN Alauddin Makassar, 25Agustus
2004.
Damopolli, Muljono, “Corak Pembaruan
Pesantren modern Pendidikan Al-Quran IMMIM
Tamalanrea
Makassar (Perspektif Komponen Kelembagaan dan Keorganisasian)”,
Laporan
Penelitian, Makassar : UIN Alauddin, 2005.
Nata
Abuddin., tokoh-tokoh Pembaruan Pendidikan
Islam di Indonesia, Jakarta:
PT
RajaG
rafindo Persada, 2005.
Nata,Abuddin. Manajemen Pendidikan : Mengatasi kelemahan Pendidikan Islam di Indonesia,
Jakarta:
Prenada Media, 2003.
Suwito, “Pendidikan yang Memberdayakan
“, Pidato pengukuhan Guru Besar Sejarah
Pemikiran
dan Pendidikan Islam, Jakarta:
Institut Agama Islam Negeri Syarif Hidayatullah, 2002.
Tafsir, Ahmad, Ilmu Pendidikan Islam dalam Perspektif Islam, cetakan ketiga,
Bandung: PT
Remaja
Rosdakarya,2000.
Uhbiyati, Nur, Ilmu pendidikan Islam (IPI), Bandung: Pustaka Setia, 2005.
[1]
Lihat” Program Pengembangan IAIN Alauddin Makassar menjadi Universitas Islam
Negeri (UIN) Alauddin Makassar “, Executive
summary ,Makassar : IAIN Alauddin Makassar, 2005, h. 4.
[2]
M. Amin Abdullah, studi agama:
Normativitas Historisitas?, cet. I, Yogyakarta: Pustaka Pelajar , 1996, h.
102
[3]
Azyumardi Azra, “Integrasi Ilmu Agama
dan Ilmu Umum: Gagasan dan Solusi”,
Makalah, disampaikan pada acara Studium General di IAIN Alauddin Makassar,
25 Agustus 2004, h.2.
[4]CD
Holy Quran, Keluaran Kelima, Versi 6.50 with Indonesian and English Translation
oleh Perusahaan Perangkat Lunak “Sakhr”, 1997.
5sudah
tidak asing lagi terdengar di kalangan komunitas perguruan tinggi agama bahwa
anggaran yang disediakan oleh pemerintah untuk membiayai IAIN seluruh Indonesia
masih lebih sedikit dibandingkan dengan biaya yang disediakan oleh pemerintah
untuk satu perguruan tinggi umum, misalnya, Universitas Hasanuddin..
[6]
Lihat Azyumardi Azra, Pendidikan Islam :
tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru , Jakarta: PT Logos Wacana
Ilmu, 1999, hal 95.
[7]
A. Malik Fadjar, Reorientasi Pendidikan
Islam, Jakarta: Fajar Dunia, 1999, hal 79.
[8]
Suwito, “Pendidikan yang Memberdayakan “, Pidato
Pengukuhan Guru Besar Sejarah Pemikiran dan pendidikan Islam, Jakarta:Institut
Agama Islam Negeri Syarif Hidayatullah, 2002,
h.7
[9]Suwito,
“Pendidikan yang Memberdayakan”, Pidato
Pengukuhan Guru besar Sejarah Pemikiran dan Pendidikan Islam, h. 27.
[10]Abuddin
Nata, Tokoh-tokoh Pembaruan Pendidikan Islam di Indonesia, h.392.
[11]Lihat
Muljono Damopolii, “Corak Pembaruan Pesantren Modern Pendidikan Al-Quran IMMIM
Tamalanrea Makassar (Persfektif Komponen Kelembagaan dan Keorganisasian)”, Laporan Penelitian, Makassar: UIN
Alauddin, 2005, h. 93.
[12]Lihat”
Undang-undang Guru Disahkan”, HarianKOMPAS,
7 Desember 2005, h. 12.
[13]Lihat
“UU guru dan Dosen: Diberi Waktu 10 Tahun Dapatkan Sertifikasi”, Harian MEDIA INDONESIA, 7 Desember 2005,
h. 1.
[14]Lihat
Ki Supriyoko “UU Guru, antara Hak dan Kewajiban “, harianMEDIA INDONESIA, 6 Desember 2005, h. 16.
[15]Ahmad
Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif
Islam, cetakan ketiga, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2000, h. 192
[16]Azyumardi
azra, “Masalah dan kebijakan Islam di Era Otonomi Daerah”, Makalah, h. 5-6.
[17]Lihat
“Pengambilan Sidik Jari Kontraproduktif”, Harian
REPUBLIKA, 8 Desember 2005, h. 2.
[18] Lihat Undang-undang
Republik Indonesia No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
(SISDIKNAS ), Bandung: Citra umbara, 2003, h. 31.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar